pergeseran archa hingga 11 km

Arca Dewa Ganesya di Dusun Boro, Desa
Tuliskriyo, Kecamatan
Sananwetan Kabupaten
Blitar, diyakini sebenarnya
berkedudukan di Desa
Jimbe, Kecamatan Kademangan, Kabupaten
Blitar yang berjarak sekitar
11 km. Ini ditunjukkan oleh
adanya bekas lubang
persegi empat, di tengah
pola melingkar yang diyakini sebagai tempat
dudukan (pedestal) arca
Ganesya di lokasi pertemuan
dua sungai Sungai Jimbe dan
Sungai Brantas. Arkeolog Jurusan Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Negeri Malang
(UM) Dwi Cahyono yang
menyertai Kompas
mengunjungi kedua lokasi, hari Sabtu dan Minggu
(12-13/3/2011)
menunjukkan, kelaziman
arca Ganesya yang
difungsikan secara simbolik
oleh penduduk Singosari pada sekitar abad ke-12
sebagai penolak bala pada
lokasi pertemuan dua sungai
atau disebut tempuran. Di Jawa Timur terdapat dua
arca Dewa Ganesya yang
istimewa karena berukuran
raksasa, setinggi lebih dari
dua meter, sehingga
menjadikannya populer. Ganesya pun dijadikan
lambang dua pemerintahan,
Blitar dan Kediri (Jawa
Timur). Pada tempat lain di
lingkungan candi-candi, arca
Dewa Ganesya yang dalam arkeologi dipahami sebagai
anak Dewa Syiwa, biasanya
berukuran kurang dari satu
meter. Selama ini dipahami Arca
Dewa Ganesya di Boro itu
pernah dicuri, peristiwanya
terjadi di masa
pemerintahan kolonial
Belanda. Arcanya berhasil ditemukan, namun sudah
berpindah jauh dari lokasi
semula. Perihal lokasi awal
inilah yang selama ini
menjadi teka-teki ilmu
arkeologi. Studi-studi selama ini
meyakini, keberadaan Arca
Dewa Ganesya yang berdiri
sendiri, atau di luar
kompleks candi,
difungsikan sebagai bagian dari pranata simbolik
menolak atau mencegah
marabahaya yang datang
dari determinasi
(kekuasaan) alam.
Pertemuan dua sungai, merupakan lokasi yang
rawan karena pada
masanya berpotensi terjadi
banjir. Selain di Boro, yang diyakini
sebenarnya berkedudukan
di Jimbe, juga ada arca
Ganesya raksasa lain yang
kini bisa dijumpai di Desa
Karangkates, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten
Malang. Arca di Boro, menurut Dwi,
lebih unik dan istimewa,
karena pahatannya masih
sangat utuh. Termasuk relief
motif batik pada kain
sarung yang dikenakan arca Dewa Ganesya. Periode akhir Singosari yang
menghasilkan arca Dewa
Ganesya ini mewakili
kesempurnaan artistik
produk-produk kesenian
masyarakat Singosari di era kepemimpinan Raja
Wisnuwardhana. "Kesenian
arca menunjukkan
perubahan ke arah tiga
dimensi, sebagai patung arca
yang utuh, bukan relief. Bisa dinikmati dari semua sisi 360
derajad sekeliling arca," kata
Cahyono. "Tidak hanya itu. Banyak
studi bisa dilakukan dalam
hal motif kain batik pada
era Singosari, juga pahatan
yang disebut plastis, yakni
pahatan yang menggambarkan
keluwesan dan sekaligus
ketrampilan pahatan yang
amat baik, sehingga
misalnya lipatan sarung arca
tampak melambai, bertumpuk dan bisa
dibayangkan sulitnya
menatahnya waktu
pembuatannya oleh
seniman Singosari,"
lanjutnya. Ini tidak terdapat pada arca
atau relief lain dari era
Singosari lainnya. Arca
Dewa Ganesya Boro
tersebut seharusnya
diletakkan dalam kedudukan atau popularitas
yang lebih tinggi oleh
pemerintah dan masyarakat
sekarang, katanya.

0 komentar: