mengenal apa itu Bid'ah

Pembahasan tentang bid’ah merupakan masalah yang sangat krusial, karena perbedaan pendapat dan pemahaman tentang masalah bid’ah ini yang sekarang ini menjadi salah satu biang keladi dan pemicu utama terjadinya friksi diantara berbagai kelompok, aliran, mazhab dan harokah Islam. Apalagi sekarang ini ada yang menjadikan kata bid’ah sebagai peluru yang sering dimuntahkan dan menjadikan kata mubtadi (pelaku bid’ah) sebagai label yang sering ditempelkan kepada kelompok lain.
 
A. Pengertian Bid’ah Secara Bahasa
Secara bahasa bid’ah itu berasal dari ba-da-’a asy-syai yang artinya adalah mengadakan dan memulai. Kata “bid’ah” maknanya adalah baru atau sesuatu perkara yang baru yang belum pernah ada pada masa Nabi.
 
B. Pengertian Bid’ah Secara Istilah.
Secara istilah, bid’ah itu didefinisikan oleh para ulama dengan sekian banyak versi dan batasan. Hal itu lantaran persepsi mereka atas bid’ah itu memang berbeda-beda. Sebagian mereka ada yang meluaskan pengertiannya hingga mencakup apapun jenis yang baru (diperbaharui), sedangkan yang lainnya menyempitkan batasannya.
 
Sultonu Ulama, Imam Izzudin bin Abdus Salam, seorang ulama terbesar dari mazhab Syafi’i (wafat 660 H) dalam kitabnya “Qawa’idul Ahkam” menerangkan bahwa bid’ah adalah suatu perbuatan (baru) yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW.
 
Dalam Ensiklopedi Fiqih jilid 8 keluaran Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait halaman 21 disebutkan bahwa secara umum ada dua kecenderungan orang dalam mendefinisikan bid’ah. Yaitu kecenderungan menganggap apa yang tidak di masa Rasulullah SAW sebagai bid’ah meski hukumnya tidak selalu sesat atau haram. Dan kedua adalah kecenderungan untuk mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat.
 
Kelompok Pertama
Kelompok yang menganggap bahwa perkara baru yang tidak di masa Rasulullah SAW sebagai bid’ah meski hukumnya tidak selalu sesat atau haram, maksudnya ada juga perkara baru yang baik.
 
a. Tokoh-tokohnya
Di antara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya seperti Imam Izzudin bin Abdis Salam, Imam Nawawi, Ibnu Hajar Atsqolani, As-Suyuthi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan Maliki seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanbaliah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.
 
b. Argumennya
Shalat Tarawih pada jaman Nabi dan Abu Bakar dilakukan sendiri-sendiri atau berjama’ah berkelompok-kelompok yang terpisah dalam Masjid. Pada Jaman Khalifah Umar bin Al-Khattab beliau membuat “perkara baru” yaitu menghimpun orang-orang untuk shalat tarawih berjamaah dengan satu imam, pada waktu itu ditunjuk Ubay bin Ka’ab sebagai imamnya. Setelah itu Umar berkata : “ini adalah sebaik-baik bid’ah“.
Perbuatan itu tidak ditentang oleh para sahabat Nabi yang lain dan bahkan sepeninggal Umar masih terus berlangsung sampai masa kita sekarang ini.
 
Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
 
Hadits yang mengindikasikan adanya bid’ah yang baik adalah hadits berikut :
“Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat”.
 
 
Dalam Kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Atsqolani, pada juz XVII halaman 10 menyebutkan : 1.  Ada riwayat dari Abu Nu’im menyebutkan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata :
“Bid’ah itu dua macam, satu bid’ah terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah terpuji adalah yang sesuai dengan sunnah Nabi dan bid’ah yang tercela adalah yang tidak sesuai atau menentang sunnah Nabi”.
 
2. Imam Baihaqi dalam kitabnya “Manaqib Syafi’i” menyebutkan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata :
“Perkara baru (bid’ah) itu ada dua macam : 1. Perbuatan keagamaan yang menentang atau berlainan dengan Qur’an, Sunnah Nabi, atsar dan Ijma’, ini dinamakan “bid’ah dhalalah”. 2. Perbuatan keagamaan yang baik, yang tidak menentang salah satu dari yang tersebut diatas adalah bid’ah juga, tetapi tidak tercela.”
 
3.  Tentang bid’ah, sebagian ulama membagi kepada hukum yang lima dan memang begitulah. (maksudnya Ibnu Hajar Atsqolany mendukung membagi hukum bid’ah kepada hukum yang lima yaitu : wajib, sunnah, makruh, mubah, haram). 
 
Bisa kita nukil pendapat Imam Izzudin bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa perkara baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, terbagi menjadi lima hukum, yaitu : bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah makruh dan bid’ah mubah.
 
c.  Contoh-contohnya :
Bid’ah yang wajib :
-          Membukukan mushaf Al-Qur’an.
-          Membukukan hadits Nabi (padahal ada hadits Nabi yang melarang membukukan hadits, karena khawatir tercampur-baur dengan Al-Qur’an).
-          Kodifikasi, perumusan dan penulisan ilmu-ilmu keislaman yang seolah-olah berdiri sendiri seperti : ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu Al-Qur’an, ilmu Fiqih, ilmu kalam (ushuludin), ilmu mantiq (logika), ilmu nahwu-sharaf, ilmu balaghah, ilmu tasawuf.
-          Mempelajari teknologi militer untuk menjaga kekuatan dan pertahanan kaum Muslimin.
 
Bid’ah yang haram :
-          Bid’ah dalam masalah akidah berbagai firqoh sempalan, seperti :
  • Khawarij yang memisahkan diri dan selalu memberontak terhadap Amir Kaum Muslimin yang mereka anggap berbuat zalim, menghalalkan darah orang-orang diluar kelompoknya dan mudah mengkafirkan sesama muslim.
  • Syiah Ghulat yang mengkultuskan Imam Ali, menuduh Abu Bakar, Umar, Usman menyerobot hak kekhalifahannya. Mencaci maki Aisyah, Talhah, Zubair dan Muawiyah yang pernah berseteru melawan Ali.
  • Murjiah yang mempunyai keyakinan iman itu cukup dengan hati. Perkataan dan perbuatan tidak termasuk iman.
  • Qadariyah yang menolak takdir, Jabariyah yang menolak ikhtiar usaha bebas manusia.
  • Mujasimah dan Musyabbihah yang menyerupakan Allah dengan keadaan     manusia.
  • Mua’tillah yang menolak sifat-sifat Allah.
  • Mu’tazilah yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk.
 
Bid’ah dalam ibadah, seperti :
a.       Menambah atau mengurangi jumlah rokaat shalat lima waktu.
b.       Shalat dengan tambaan bacaan bahasa Indonesia.
c.       Puasa sehari penuh (tidak berbuka saat maghrib).
d.       Mewajibkan zakat terhadap barang-barang yang tidak wajib dizakati.
e.       Melakukan haji tidak ke Mekkah.
 
Bid’ah yang Sunnah (Yaitu bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa.):
a.       Shalat Tarawih berjama’ah.
b.       Adzan pertama pada shalat Jum’at.
c.       Mengadakan pengajian Maulid Nabi.
d.       Mendirikan sekolah/madrasah/majelis ta’lim.
 
Bid’ah yang Makruh (Yaitu bila dikerjakan tidak dicela, tetapi bila ditinggalkan terpuji.)
a.       Menghias masjid.
b.       Menetapkan waktu tertentu untuk ibadah.
c.       Perdebatan yang sengit dalam masalah khilafiah.
d.       Sistem pemerintahan yang monarki.
e.       Melakukan ibadah (shalat/puasa) sunah untuk tujuan duniawi semata-mata.
 
Bid’ah yang Mubah (Yaitu sesuatu yang dibolehkan, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan).
a.       Makan menggunakan sendok.
b.       Memakai pakaian yang bagus.
c.       Membuat rumah yang besar.
d.       Menggunakan peralatan modern.
e.       Dzikir berjama’ah.
f.        Bersalam-salaman setelah shalat berjama’ah.
 
Kelompok Kedua
Kelompok ini menganggap bahwa yang disebut perkara baru (bid’ah) itu semuanya adalah sesat, berdasarkan pemahaman tekstual keumuman lafazh hadits“Semua perkara baru (bid’ah) adalah sesat (dhalalah).”
 
Kelompok ini menganggap semua perkara baru dalam masalah syariat adalah bid’ah dhalalah. Sedangkan perkara baru dalam masalah diluar syariat dihukumi sebagai “sarana”. Hukum sarana itu tergantung pada tujuannya. Sarana menuju yang haram adalah haram, sarana menuju yang wajib juga menjadi wajib.
a. Tokoh
Di antara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taimiyah.
 
b. Dalil
Dalil yang mereka gunakan adalah:
Bahwa Alloh SWT telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Alloh SWT : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”  (QS Al-Maidah: 3)
 
Hadits Nabi :
“Bahwa semua perkara baru (bid’ah) itu adalah sesat”.
 
“Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak.” (HR Muslim 1817)
 
c. Contoh :
Maulud Nabi tidak ada di jaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
Dzikir berjama’ah tidak ada dijaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
Pemilu tidak ada di jaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
Tahlilan tidak ada dijaman Nabi, maka itu termasuk bid’ah dhalalah.
 
Tahqiq :
1.Kedua kelompok sepakat bahwa tidak semua perkara baru adalah bid’ah dhalalah, yaitu sarana yang menuju kebaikan dan urusan duniawi tidak termasuk bid’ah dhalalah.
2.Perbedaan pendapat terjadi pada : perkara baru tentang ibadah dan adat/tradisi yang mengandung unsur agama, contohnya :
a.       Shalat Jum’ah dengan Khutbah Bahasa Indonesia, itu termasuk bid’ah dhalalah atau tidak.
b.       Shalat  Sunah berjama’ah itu bid’ah dhalalah atau tidak.
c.       Dzikir berjama’h itu bid’ah dhalalah atau tidak.
d.       Peringatan maulid Nabi itu bid’ah dhalalah atau tidak.
e.       Tradisi tahlilan pada hari ke-3, 7, 40, 100 hari orang meninggal itu bid’ah atau tidak.
 
3.       Hadits nabi “Semua perkara baru (bid’ah) adalah sesat (dhalalah).”  Secara tekstual memang mengisyaratkan bahwa semua perkara baru itu adalah bid’ah dhalalah.
Petunjuk lafazh hadits diatas memang bersifat umum (‘am), lafazh ‘am masih memungkinkan menerima takhsis (peng-khususan) dan ternyata memang ada takhsisnya yaitu hadits : “Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat.
Jadi tidak “semua” perkara baru bid’ah dhalalah, masih memungkinkan adanya sunnah hasanah.
 
4.       Riwayat-atsar yang menunjukkan para sahabat Nabi melakukan perkara baru yang belum dikenal dijaman Nabi :
a.       Khalifah Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf yang tidak diperintahkan dan tidak ada contohnya dari Nabi.
b.       Khalifah Usman menyatukan Al-Qur’an dalam satu rasm dan menyalinnya menjadi beberapa mushaf.
c.       Khalifah Usman menambahkan adan menjadi dua kali pada Shalat Jum’at, maksudnya adan pertama untuk mengingatkan manusia bahwa waktu shalat Jum’at sudah dekat.
d.       Khalifah Umar bin Khatab melaksanakan shalat Tarawih berjamaa’h dibawah satu imam yang belum pernah dilakukan di jaman Nabi.
e.       Khalifah Umar bin Khatab tidak memberikan zakat kepada muallaf, padahal  mereka jelas-jelas termasuk muzakki yang berhak menerima zakat dengan alasan Islam sudah kuat tidak perlu lagi membujuk hati orang-orang yang baru masuk Islam.
f.         Khalifah Umar tidak memotong tangan pencuri ketika masa kelaparan dan paceklik.
g.       Khalifah Umar menetapkan orang yang mentalak tiga sekaligus, jatuh talak tiga karena pada masa itu orang memudahkan urusan talak dan sering terjadi lelaki yang menjatuhkan talak tiga sekaligus. Padahal jaman Nabi dan Khalifah Abu Bakar, talak tiga sekaligus hanya dianggap jatuh talak satu.
h.       Khalifah Umar tidak membagikan tanah taklukan di Iraq kepada para prajurit dengan perimbangan kemaslahatan generasi mendatang, padahal Nabi membagikan tanah taklukan Khaibar kepada para perajurit.
i.         Ibnu Umar menyebut bahwa shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
j.         Khalifah Umar bin Abdul Azis membukukan hadits, padahal ada hadits Nabi yang melarang menuliskan hadits (karena khawatir tercampur dengan Al-Qur’an).
 
Semua atsar diatas menunjukkan bahwa tidak semua perkara baru adalah bid’ah dhalalah, jadi perlu diselidiki dulu faktor maslahat dan manfaatnya, illat hukumnya, maqashid syariahnya dan sebagainya.
 
5.       Jadi jangan gampang memvonis bid’ah dhalalah terhadap semua perkara baru, tapi juga jangan terus seenaknya membuat perkara baru yang tanpa ada tujuan dan kemaslahatan yang nyata.
 
6.       Tentang adat, tradisi atau perkara mubah yang mengandung unsur agama, hendaknya dilihat content (isinya) dan dampaknya, kalau isinya tidak bertentangan dengan jiwa syariat dan dampaknya tidak mendatangkan kemudharatan atau perkara baru itu menjadi sarana yang membawa manfaat-maslahat maka jangan terus mudah divonis sebagai bid’ah dhalalah.

0 komentar: